Tan Malaka: Sang Filsuf Bangsa yang Terlupakan dan Tragis

    Tan Malaka: Sang Filsuf Bangsa yang Terlupakan dan Tragis
    Tan Malaka

    PROFIL - Di antara gemuruh perjuangan kemerdekaan Indonesia, terukir sebuah nama yang mungkin tak selalu terdengar di telinga awam, namun jasanya begitu fundamental: Tan Malaka. Ia bukan sekadar pahlawan; ia adalah arsitek gagasan Republik Indonesia pertama, inspirasi yang membakar semangat para pendiri bangsa, termasuk Ir. Soekarno. Namun, ironisnya, perjalanan hidupnya harus berakhir dalam kegelapan, sebuah tragedi tanpa pengadilan yang menyisakan luka mendalam bagi sejarah bangsa ini.

    Tan Malaka, yang lahir dengan nama Sultan Ibrahim di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897, tumbuh dalam lingkungan yang menghargai ilmu dan tradisi. Dibesarkan dalam keluarga Islamis, ayahnya seorang pegawai pertanian dan ibunya berasal dari keluarga terpandang, ia telah menunjukkan pribadi yang berbeda sejak usia belia. Saat dihadapkan pada pilihan gelar Datuk atau perjodohan, ia memilih keduanya, namun dengan penegasan bahwa gelar Datuk yang akan melekat, mengubah namanya menjadi Tan Malaka.

    Perjalanan intelektualnya membawanya ke Belanda, tempat ia pertama kali bersentuhan dengan pemikiran Karl Marx, Engels, dan Lenin. Di sana, ia bertemu dengan Henk Sneevliet, salah satu pendiri ISDV, organisasi yang kelak menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Sejak saat itu, dunia pemikiran Tan Malaka semakin terjalin erat dengan ideologi kiri, sebuah jalan yang membawanya mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh Deli, Sumatera Utara. Pengalaman ini mengasah kepekaannya terhadap penderitaan kaum pribumi, sekaligus memperkuat koneksinya dengan ISDV dan dunia tulis-menulis.

    Kiprah politik Tan Malaka tidaklah mulus. Ia sempat menjadi calon anggota Volksraad, parlemen bentukan Hindia Belanda, namun mengundurkan diri setahun kemudian. Ia kemudian mendirikan sekolah rakyat di Semarang, mengadopsi kurikulum yang terinspirasi dari Uni Soviet. Kedekatannya dengan tokoh-tokoh seperti Semaun dan Darsono semakin mengukuhkan posisinya dalam gerakan komunisme. Tak heran, pada Februari 1922, ia ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda atas tudingan radikal, dan memilih diasingkan ke Belanda.

    Di Eropa, Tan Malaka terus bergerak. Ia bergabung dengan Partai Komunis Belanda (CPN) dengan misi membawa isu kemerdekaan Indonesia. Perjalanannya membawanya ke Jerman dan Uni Soviet, di mana ia aktif dalam konferensi komunis internasional (Komintern). Di sana, ia bahkan pernah menawarkan proposal kolaborasi antara komunisme dan pan-Islamisme, sebuah gagasan yang melampaui zamannya, meski akhirnya ditolak.

    Tahun 1924 menjadi saksi lahirnya karya monumental Tan Malaka, "Naar De Republik Indonesia" atau "Menuju Republik Indonesia." Buku ini bukan sekadar tulisan, melainkan sebuah ramalan visioner tentang bentuk negara Indonesia sebagai republik. Gagasan revolusioner inilah yang kemudian diyakini menjadi sumber inspirasi besar bagi Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta dalam merumuskan visi Indonesia merdeka.

    Ketidakpuasan terhadap strategi PKI membawanya mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) pada tahun 1927. Kembali ke tanah air pada 1942, Tan Malaka menerbitkan "Madilog: Materialisme Dialektika dan Logika, " sebuah karya pemikiran yang mendalam. Ia juga aktif memperhitungkan peluang kemerdekaan Indonesia, yang akhirnya terwujud pada 17 Agustus 1945.

    Namun, pasca-proklamasi, Tan Malaka justru menilai diplomasi Indonesia terhadap Belanda terlalu lemah. Kekecewaannya memuncak hingga ia mendirikan Persatuan Perjuangan, sebuah wadah yang menyatukan 140 organisasi politik. Puncaknya, ia sempat dipenjara atas tuduhan penculikan Sutan Syahrir, meski kemudian dibebaskan. Setelah bebas, ia mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA), sebuah partai dengan ideologi nasionalis-komunis.

    Sang filsuf bangsa ini terus melontarkan kritik terhadap kebijakan diplomasi Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta, yang ia anggap menyia-nyiakan hak-hak bangsa. Propagandanya, meskipun berakar pada semangat kebangsaan, justru membuatnya dicap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya dianggap perlu ditumpas.

    Dalam persembunyiannya di Gunung Wilis, Kediri, Tan Malaka akhirnya ditangkap pada 21 Februari 1949. Atas perintah Letnan Dua Sukotjo, sebuah eksekusi tanpa pengadilan dilakukan oleh Suradi Tekebek. Ia dimakamkan di lokasi yang dirahasiakan, sebuah akhir yang tragis bagi seorang pelopor gagasan republik.

    Makamnya baru terungkap berkat penelitian sejarawan Harry Poeze, yang melakukan wawancara mendalam dengan para pelaku sejarah. Meski Presiden Soekarno menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada 1963, makamnya baru dipindahkan secara simbolis ke Sumatera Barat pada 2017. Selama hidupnya, Tan Malaka tercatat pernah dipenjara 13 kali, dikejar polisi di 11 negara, menggunakan 23 nama samaran, hidup 20 tahun dalam pelarian, dan menguasai 8 bahasa. Namun, di era Orde Baru, namanya sempat dihilangkan dari buku sejarah, sebuah pengingkaran atas jasanya yang luar biasa bagi Indonesia. (PERS)

    tan malaka sejarah indonesia pahlawan nasional revolusi tokoh bangsa gerakan kiri
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Haji Agus Salim: Sang 'The Grand Old Man'...

    Artikel Berikutnya

    Richard Mille: Sang Maestro Jam Tangan Mewah...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Polsek Pangkalan Sosialisasikan Pengaduan Cepat Propam Polri kepada Masyarakat
    Safari Subuh Polsek Cikidang Pererat Silaturahmi dengan Masyarakat
    Patroli Biru Polsek Cicurug Cegah Gangguan Kamtibmas di Wilayah Kecamatan Cicurug
    Sambang Satkamling, Polsek Caringin Ajak Warga Tingkatkan Kesiapsiagaan Lingkungan
    Warga Sukatani Sampaikan Aspirasi, Polsek Surade Pastikan Situasi Kondusif

    Ikuti Kami