TEKNO - Sebuah terobosan teknologi yang berpotensi mengubah lanskap konektivitas digital di Indonesia kini tengah menjadi fokus kajian Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Teknologi Non-Terrestrial Network Direct-to-Device (NTN-D2D) yang memungkinkan ponsel terhubung langsung dengan satelit tanpa melalui menara pemancar (BTS), masih berada dalam tahap awal penelitian.
Wayan Toni Supriyanto, Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi, menjelaskan bahwa teknologi ini masih dalam proses pendalaman. "Itu direct to device itu baru kajian yang akan kami bawa nanti ke ITU (International Telecommunication Union). Ada frekuensi 2, 1, ada teknologi NTN. Itu masih kajian, masih nunggu masukan-masukan, " ujar Wayan saat ditemui di Sragen, Jawa Tengah, pada Rabu (5/11/2025).
Mengapa hal ini begitu penting? Bayangkan saja, bagi kita yang tinggal di daerah terpencil, di puncak gunung, atau bahkan di tengah lautan, sinyal ponsel seringkali menjadi barang langka. Keterbatasan infrastruktur darat membuat akses internet menjadi impian belaka. Nah, NTN-D2D hadir sebagai solusi potensial.
Komdigi sendiri telah meluncurkan konsultasi publik melalui dokumen Call for Information (CFI) terkait kajian regulasi dan kebijakan NTN-D2D. Tujuannya jelas: menghimpun pandangan, data, dan praktik terbaik dari berbagai pihak, mulai dari operator telekomunikasi hingga masyarakat umum. Hal ini penting agar implementasi teknologi ini benar-benar menjawab kebutuhan dan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Teknologi NTN-D2D ini memiliki kemampuan luar biasa. Perangkat seluler kita nantinya bisa berkomunikasi langsung dengan satelit. Ini seperti memiliki menara BTS pribadi di angkasa yang siap menjangkau area yang sebelumnya tak terjamah oleh jaringan darat. Dengan demikian, masyarakat di wilayah terpencil, perbatasan, dan bahkan di perairan yang sulit dijangkau, dapat merasakan manfaat konektivitas digital.
Potensi NTN-D2D tidak hanya terbatas pada perluasan jangkauan layanan seluler. Teknologi ini juga diharapkan dapat memperkuat ketahanan komunikasi nasional, sebuah aspek krusial di era digital yang serba cepat ini. Lebih jauh lagi, dampaknya akan terasa hingga ke ekonomi digital di daerah-daerah yang sebelumnya mungkin tertinggal.
Dokumen CFI yang disusun oleh Komdigi membuka pintu lebar bagi masukan dari berbagai elemen. Mulai dari operator telekomunikasi, penyedia layanan satelit, industri perangkat, akademisi, hingga masyarakat umum, semua diundang untuk berbagi pandangan. Masukan ini akan menjadi pondasi penting dalam merumuskan kebijakan dan regulasi yang mencakup aspek teknis, manajemen spektrum frekuensi, model bisnis, hingga skema kerja sama antar operator.
Jika Anda memiliki pandangan atau masukan terkait teknologi revolusioner ini, Komdigi sangat mendorong partisipasi publik. Tanggapan dapat dikirimkan melalui email ke [email protected] dan [email protected] sebelum batas waktu 9 November 2025.
Sebuah gambaran nyata dari teknologi serupa telah diperkenalkan oleh Starlink, perusahaan satelit milik Elon Musk, dengan nama Direct to Cell. Melalui satelitnya yang dilengkapi modem eNodeB, Starlink mengklaim layanannya mampu memberikan akses menyeluruh untuk SMS, panggilan telepon, dan menjelajah internet di mana pun, termasuk di darat, danau, hingga perairan pesisir. Bahkan, Starlink menyebut layanannya ini dapat dihubungkan dengan perangkat IoT dan ponsel LTE umum, meski saat ini belum tersedia di Indonesia. (PERS)

Updates.