JAKARTA - Dalam sebuah langkah tegas yang menggemparkan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat mengumumkan penetapan tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan negara senilai Rp122 miliar. Skandal ini berpusat pada pengajuan Kredit Modal Kerja (KMK) yang diajukan ke salah satu bank milik pemerintah, dengan modus operandi yang mengejutkan.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Dr. Antonius Despinola, S.H., M.H., didampingi jajaran Kejari, membeberkan detail kasus ini dalam sebuah konferensi pers pada Senin, 17 November 2025. Ketiga individu yang kini berstatus tersangka adalah FHS, seorang Relation Manager dari bank pemerintah; MLG, Direktur PT Dunia Pangan Gosyen (DPG) dan PT Citra Karya Tobindo (CKT); serta LPN, Direktur Utama dan pemohon kredit dari PT Gosyen Sejahtera Utama (GSU) selaku debitur.
Modus operandi yang terungkap sungguh memprihatinkan. Para tersangka mengajukan KMK dengan menjadikan sejumlah kontrak pekerjaan di tiga kementerian sebagai dasar permohonan. Namun, penyelidikan mendalam mengungkap bahwa kontrak pekerjaan yang berbentuk Surat Perintah Kerja (SPK) tersebut ternyata fiktif. Bayangkan saja, pengajuan dana miliaran rupiah disandarkan pada dokumen yang tidak nyata!
Proses selanjutnya, seperti dijelaskan oleh Kajari Jakarta Pusat, melibatkan tersangka FHS sebagai Relation Manager. Ia diduga memproses pengajuan kredit ini tanpa menerapkan prinsip kehati-hatian yang seharusnya menjadi landasan utama dalam dunia perbankan. Verifikasi yang mendalam dan teliti seolah terabaikan, membuka celah bagi penyelewengan dana.
"Kemudian persetujuan tersebut dilanjutkannya kepada pimpinannya sehingga kredit tersebut disetujui dan dicairkan sejumlah Rp 122 miliar, " ungkap Dr. Antonius Despinola, S.H., M.H., menyoroti bagaimana kelalaian dalam proses dapat berujung pada kerugian besar.
Setelah dana KMK dicairkan dan masuk ke rekening PT DPG, PT CKT, dan PT GSU, tersangka MLG diduga melakukan langkah selanjutnya yang semakin memperparah kasus ini. Dana tersebut kemudian dipindahkan ke sejumlah rekening cangkang atau rekening atas nama orang lain yang dikuasainya. Ini adalah taktik klasik untuk menyamarkan jejak aliran dana haram.
Dalam skandal ini, tersangka FHS disebut-sebut menerima bagian keuntungan haram sebesar Rp 800 juta. Sebuah jumlah yang fantantis, namun sangat kecil jika dibandingkan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.
Akibat perbuatan mereka, para tersangka disangkakan melanggar pasal berlapis. Primair, mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sementara itu, secara subsidier, mereka dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021. Ini menunjukkan keseriusan penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Tak hanya menetapkan tersangka, tim penyidik Kejari Jakarta Pusat juga telah bergerak cepat menyita aset berharga milik para tersangka dari pihak swasta. Dua unit mobil mewah, sebuah Fortuner dan sebuah Mercy, kini telah disita sebagai bagian dari upaya pemulihan kerugian negara. Langkah ini menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak hanya berhenti pada penetapan tersangka, tetapi juga berlanjut pada pengembalian aset. (PERS)

Updates.