JAKARTA - Sebuah transformasi fundamental sedang terjadi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Target setoran dividen sebesar Rp 150 triliun per tahun kini bukan sekadar angka pasif, melainkan telah ditetapkan sebagai fondasi modal baru untuk Badan Investasi Negara (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). Ini menandai pergeseran krusial dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sifatnya hanya menampung, menjadi modal investasi produktif yang akan dikelola oleh Danantara sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) domestik.
Namun, realitas di lapangan memunculkan pertanyaan. Menggunakan skenario yang cukup berhati-hati, di mana Pertamina menetapkan rasio pembayaran dividen (DPR) 20?ri laba 2024 (sekitar Rp 9, 91 triliun) dan PT Pelindo (Persero) menetapkan DPR 30% (sekitar Rp 1, 07 triliun), total setoran dari 10 BUMN teratas diprediksi hanya mencapai Rp 107, 70 triliun. Angka ini, kendati signifikan, masih menyisakan gap atau kekurangan sebesar Rp 42, 30 triliun dari target ideal Rp 150 triliun.
Kalkulasi ini memunculkan dua fakta penting. Pertama, adanya 'gap' sebesar Rp 42, 30 triliun yang perlu diatasi. Kedua, muncul pertanyaan krusial: mungkinkah 'gap' ini ditutup oleh ratusan BUMN dan anak usaha lainnya di luar 10 besar? Berdasarkan data historis, jawabannya cenderung negatif.
Fakta yang diakui oleh manajemen Danantara sendiri adalah konsentrasi profitabilitas yang ekstrem. Lebih dari 90% total dividen BUMN berasal dari 10 perusahaan 'elite' tersebut. Portofolio BUMN yang tersisa, yang jumlahnya mencapai ribuan entitas, sebagian besar adalah perusahaan yang menjalankan Public Service Obligation (PSO), memiliki skala bisnis kecil, atau bahkan mengalami kerugian kronis. Kontribusi dividen kolektif dari BUMN di luar 10 besar ini diperkirakan hanya berkisar Rp 1-4 triliun, angka yang terlalu kecil untuk menutup 'gap' Rp 42, 30 triliun.
Kondisi ini menyiratkan bahwa untuk mencapai target Rp 150 triliun secara berkelanjutan, Danantara tidak dapat hanya mengandalkan 'BUMN sisa'. Danantara harus mengambil peran aktif dalam meningkatkan profitabilitas portofolio yang ada. 'Gap' sebesar Rp 42, 30 triliun inilah yang menjadi justifikasi utama bagi mandat Danantara untuk bertindak sebagai active investment holding, bukan sekadar penerima pasif.
Berdasarkan rencana yang telah dipaparkan oleh pimpinan Danantara, setidaknya ada tiga strategi utama yang disiapkan untuk memastikan target Rp 150 triliun tidak hanya tercapai, tetapi bahkan terlampaui. Melalui strategi restrukturisasi portofolio, fokus pada efisiensi inti, dan disiplin modal, target Rp 150 triliun diharapkan menjadi baseline baru yang akan terus bertumbuh di tahun-tahun mendatang. (PERS)

Danantara