Dua Pengusaha Djunaidi Nur dan Aditya Simaputra Didakwa Suap Rp2,5 Miliar untuk Atur Proyek Hutan Inhutani V

    Dua Pengusaha Djunaidi Nur dan Aditya Simaputra Didakwa Suap Rp2,5 Miliar untuk Atur Proyek Hutan Inhutani V
    Djunaidi Nur diketahui menjabat sebagai salah satu direktur di PT PML

    JAKARTA - Dua pengusaha swasta, Djunaidi Nur dan Aditya Simaputra, menghadapi dakwaan serius dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka dituding memberikan suap sebesar 199 ribu dolar Singapura, setara dengan Rp2, 55 miliar, terkait kasus dugaan korupsi dalam kerja sama pengelolaan kawasan hutan di PT Inhutani V. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Tonny Pangaribuan, membeberkan detail kasus ini dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa.

    Suap tersebut diduga dialamatkan kepada Direktur Utama PT Inhutani V, Dicky Yuana Rady. Modus operandi yang diungkapkan JPU adalah agar Dicky dapat memfasilitasi dan mengatur kelanjutan kerja sama PT PML dengan PT Inhutani V dalam pemanfaatan kawasan hutan di beberapa register di Provinsi Lampung.

    “Suap diberikan dengan maksud supaya Dicky dapat mengondisikan atau mengatur agar PT PML tetap dapat bekerja sama dengan PT Inhutani V dalam memanfaatkan kawasan hutan pada register 42, 44, dan 46 di wilayah Provinsi Lampung, ” ujar JPU dalam sidang.

    Djunaidi Nur diketahui menjabat sebagai salah satu direktur di PT PML, sementara Aditya Simaputra merupakan asisten pribadi Djunaidi sekaligus staf perizinan di PT SBG. Perbuatan mereka kini terancam sanksi pidana berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 KUHP.

    Perkara ini bermula dari kerja sama pengelolaan hutan tanaman antara PT Inhutani V dan PT PML yang telah terjalin sejak tahun 2009. Namun, pada tahun 2014, timbul sengketa yang berujung pada gugatan PT PML ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Meskipun BANI memenangkan PT PML, putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun kemudian dibatalkan lagi oleh Mahkamah Agung (MA) yang justru menguatkan putusan BANI.

    Setelah melalui proses hukum yang panjang, pada 1 November 2018, kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa dan merajut kembali kerja sama dengan perjanjian baru. Puncak dari upaya kelanjutan kerja sama ini terjadi pada 6 Juni 2024, di mana sebuah rapat membahas perpanjangan izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT Inhutani V unit Lampung dan Rencana Kerja Usaha (RKU) PBPH PT Inhutani V unit Lampung.

    “Selain itu, disepakati bahwa kerja sama tetap dilanjutkan dan PT PML membayar ganti rugi serta denda sebagaimana putusan MA, ” ungkap JPU.

    Selang beberapa waktu, tepatnya pada 18 Juli 2024, Dicky mengajukan surat permohonan usulan revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH) PBPH periode 2018-2027 PT Inhutani V Unit Lampung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Surat ini diduga telah mengakomodir permintaan PT PML, namun diajukan tanpa menyertakan kondisi tanaman dan penguasaan kawasan hutan yang sebenarnya. Hal ini dilakukan tanpa pemberitahuan atau laporan kepada Menteri LHK mengenai kerja sama yang telah terjalin dengan PT PML atas lahan tersebut.

    Setelah pengajuan surat tersebut, JPU melanjutkan, Dicky menghubungi Djunaidi dan menyampaikan permintaannya akan sejumlah uang untuk keperluan pribadinya. Permintaan ini disanggupi oleh Djunaidi dengan harapan agar kerja sama dengan PT Inhutani V tetap berjalan sesuai keinginannya.

    Pada 21 Agustus 2024, pertemuan antara Djunaidi dan Dicky membuahkan hasil. Djunaidi menginformasikan bahwa PT PML telah membayarkan ganti rugi dan denda sebesar Rp4, 2 miliar ke rekening PT Inhutani V. Dalam pertemuan tersebut, Djunaidi juga menyerahkan uang senilai 10 ribu dolar Singapura kepada Dicky, yang diberikan dalam bentuk 100 lembar pecahan 100 dolar Singapura, sesuai permintaan Dicky.

    Puncaknya terjadi pada 23 Juli 2025, ketika Djunaidi kembali bertemu Dicky untuk membahas kerja sama tanam tebu. Dicky meminta lahan seluas 5 ribu hektare dan sebagai gantinya, meminta Djunaidi mengganti mobil Mitsubishi Pajero Sport miliknya dengan mobil tipe Jeep atau SUV lainnya.

    “Atas permintaan Dicky tersebut, Djunaidi menyanggupi dan meminta agar Dicky menghubungi Aditya terkait permintaan mobil tersebut, ” tutur JPU.

    Selanjutnya, Djunaidi menginstruksikan Aditya untuk menyerahkan uang pembayaran Jeep Rubicon kepada Dicky dalam bentuk dolar Singapura. Ia juga meminta agar Aditya menghitung kurs dolar Singapura sebesar 188.390 dolar Singapura, yang saat itu bernilai Rp12.660 per dolar Singapura. Djunaidi kemudian meminta agar jumlah tersebut dibulatkan menjadi 189 ribu dolar Singapura, dan meminta Aditya mengambil uang tersebut di rumahnya, yang kemudian dibungkus koran bekas dalam tas, untuk diserahkan kepada Dicky di Wisma Perhutani. (PERS)

    korupsi hutan suap pengusaha kpk inhutani v tindak pidana korupsi pengadilan korupsi
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Jejak Korupsi, Robert Tantular Desak KPK...

    Artikel Berikutnya

    Nadiem Makarim: Dari Pendiri Gojek Hingga...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Polwan Polda Sumbar Pulihkan Trauma Anak-Anak Korban Banjir Lewat Kegiatan Ceria di Mushalla Nurul Jadid
    Polda Sumbar Terima Bantuan Mobil Pendingin dari Pemprov Sumbar untuk Percepatan Penanganan Korban Bencana
    Ditreskrimsus Polda Sumbar Distribusikan Bantuan Logistik untuk Anggota dan Warga Terdampak Banjir di Pauh
    Polda Sumbar Gencarkan Trauma Healing untuk Korban Banjir Padang, Fokus Pulihkan Kondisi Psikologis Warga
    Anggota DPRD Agam Apresiasi Kepolisian atas Respons Cepat Tangani Bencana di Salareh Aia

    Ikuti Kami