Ferry Unardi: Dari Keresahan Pribadi Menjadi Raja Tiket Digital

    Ferry Unardi: Dari Keresahan Pribadi Menjadi Raja Tiket Digital
    Ferry Unardi

    PENGUSAHA - Pernahkah Anda terpikirkan siapa dalang di balik kemudahan memesan tiket pesawat dan hotel melalui Traveloka? Dialah Ferry Unardi, seorang engineer brilian yang menjadi nahkoda Traveloka, berhasil mentransformasi lanskap pariwisata digital di kancah Asia Tenggara. Tanpa bekal bisnis formal, kegigihan dan visi tajamnya membuktikan bahwa mimpi besar dapat dibangun dari nol.

    Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan luar biasa Ferry Unardi, mulai dari keresahan pribadinya yang sederhana hingga strategi jitu yang mengantarkan Traveloka menjadi sebuah unicorn. Melalui kisahnya, Anda akan menemukan pelajaran berharga tentang inovasi, keberanian dalam mengambil risiko, dan bagaimana seorang software engineer biasa mampu menciptakan platform yang kini menjadi andalan jutaan orang. Ini adalah cerita tentang mengubah tantangan terbesar menjadi peluang emas.

    Lahir di Padang pada 16 Januari 1988, Ferry Unardi muda telah menunjukkan ketertarikannya pada dunia teknologi. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, ia melanjutkan studi di Purdue University, Amerika Serikat, mengambil jurusan Computer Science and Engineering. Di sinilah ia mengasah fondasi teknis yang kelak menjadi tulang punggung arsitektur Traveloka.

    Setelah meraih gelar sarjana, Ferry mengawali kariernya di raksasa teknologi dunia, Microsoft Seattle. Selama tiga tahun, ia berkiprah sebagai software engineer, mengasah kemampuannya dalam pengembangan perangkat lunak skala besar. Namun, di tengah karier yang gemilang, sebuah kegelisahan muncul, mendorongnya untuk mencari jalan yang lebih menantang.

    Ide brilian untuk mendirikan Traveloka tidak lahir dari ruang rapat steril atau riset pasar yang rumit, melainkan dari pengalaman pribadi Ferry Unardi. Saat masih bekerja di Amerika, ia sering menghadapi kendala saat hendak pulang ke kampung halamannya di Padang. Proses pencarian dan pemesanan tiket pesawat terasa begitu rumit, tidak efisien, dan membingungkan akibat rute yang tidak jelas. Keresahan inilah yang menjadi percikan api bagi sebuah ide besar.

    Ferry melihat sebuah masalah nyata yang membutuhkan solusi teknologi. Pada usia 23 tahun, ia mengambil keputusan berani untuk meninggalkan zona nyamannya di Microsoft dan merintis sebuah platform yang dapat mempermudah siapa saja dalam merencanakan perjalanan.

    Menyadari bahwa keahlian teknis saja belum cukup, Ferry Unardi mengambil langkah mundur strategis. Ia mendaftar di Harvard University untuk mengejar gelar MBA, guna melengkapi pemahamannya tentang manajemen dan strategi bisnis. Namun, takdir berkata lain. Baru satu semester berjalan, ia melihat momentum emas di industri startup travel yang sedang berkembang pesat di Amerika Serikat. Ia merasa jika tidak segera bertindak, peluang itu akan terlewatkan.

    Dengan keberanian luar biasa, ia memutuskan untuk berhenti kuliah. Keputusan mengejutkan ini menjadi titik balik terpenting dalam sejarah Traveloka. “Saya ingat pernah mengatakan ‘kita 23 (tahun), kita masih cukup muda untuk melakukan kesalahan’ dan tidak ada waktu yang lebih baik dari pada sekarang, ” ungkap Ferry.

    Bersama dua rekannya, Derianto Kusuma dan Albert Zhang, Ferry Unardi resmi mendirikan Traveloka pada Maret 2012 dan meluncurkannya ke publik pada Oktober tahun yang sama. Langkah nekat ini membuktikan bahwa intuisi dan kecepatan eksekusi adalah kunci utama dalam dunia startup.

    Awalnya, Traveloka hanyalah mesin pencari untuk membandingkan harga tiket pesawat dari berbagai situs. Namun, Ferry dan timnya segera menyadari bahwa masalah terbesar pengguna bukan hanya menemukan tiket, tetapi juga proses transaksi yang rumit. Mereka pun bertransformasi menjadi platform reservasi tiket, memungkinkan pengguna menyelesaikan seluruh proses pemesanan di satu tempat.

    Tantangan berikutnya datang dari industri penerbangan itu sendiri. Tak ada maskapai yang mau bekerja sama dengan startup kecil yang belum terbukti. Alih-alih menyerah, Ferry menerapkan strategi cerdas: fokus membangun produk yang sangat dicintai pengguna. Ia yakin, jika pengguna puas dan terus bertambah, maskapai akan datang dengan sendirinya.

    Strategi ini terbukti ampuh. Seiring pertumbuhan pesat pengguna, satu per satu maskapai mulai melihat Traveloka sebagai mitra distribusi potensial. Selain itu, Ferry juga belajar keras mengelola tim yang berkembang dari 8 menjadi ratusan orang. Ia banyak terinspirasi dari buku The Hard Thing About Hard Things karya Ben Horowitz, yang menekankan pentingnya membangun tim dan budaya perusahaan yang solid di balik pertumbuhan angka.

    Kerja keras Ferry Unardi dan timnya membuahkan hasil gemilang. Pada tahun 2017, Traveloka resmi menyandang status unicorn, dengan valuasi di atas US$1 miliar. Pencapaian ini menjadikannya salah satu perusahaan teknologi paling bernilai di Asia Tenggara dan memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

    Seiring skala perusahaan yang bertambah, terjadi pula evolusi dalam kepemimpinan. Pada tahun 2023, Ferry Unardi memutuskan beralih dari CEO menjadi Chairman of the Board. Langkah ini memungkinkannya untuk lebih fokus pada strategi jangka panjang, sementara operasional harian dipercayakan kepada kepemimpinan baru. Hingga Mei 2024, valuasi Traveloka dilaporkan mencapai sekitar US$3 miliar, bukti nyata dari fondasi kokoh yang telah ia bangun.

    Di balik kesuksesan Traveloka, tersimpan beberapa fakta menarik tentang Ferry Unardi. Ia memulai debutnya di dunia e-ticketing pada usia sangat muda, 23 tahun, dan pernah dianugerahi penghargaan “30 Under 30” oleh Forbes Asia pada 2017 sebagai salah satu pemimpin muda paling berpengaruh. Sebelum mendirikan Traveloka, ia bahkan sempat mengunjungi Tiongkok untuk mempelajari raksasa teknologi seperti Alibaba dan Ctrip.

    Berdasarkan data majalah Globe Asia pada 2022, Ferry Unardi masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan mencapai US$145 juta atau setara Rp2, 35 triliun. Angka ini mencerminkan nilai dari kerja keras dan risiko yang ia ambil belasan tahun lalu. Kekayaannya tidak hanya berasal dari valuasi perusahaan, tetapi juga dari pendapatan Traveloka yang pada tahun 2022 berhasil mencatatkan angka sekitar Rp3, 43 triliun.

    Kisah Ferry Unardi adalah teladan nyata bahwa keresahan pribadi dapat menjadi sumber inspirasi bisnis yang luar biasa. Perjalanannya dari seorang engineer yang mungkin awalnya ragu menjadi Founder Traveloka mengajarkan kita pentingnya keberanian untuk memulai, fokus pada solusi, dan tidak pernah berhenti belajar. Semoga kisah ini dapat memberikan Anda inspirasi untuk mengubah masalah di sekitar Anda menjadi sebuah peluang emas. (PERS)

    ferry unardi traveloka startup unicorn industri pariwisata teknologi asia tenggara kisah sukses inovasi bisnis
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Polda Metro Jaya Kirim Bantuan Kemanusiaan...

    Artikel Berikutnya

    Murdaya Poo: Sang Arsitek Imperium Bisnis...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Polwan Polda Sumbar Pulihkan Trauma Anak-Anak Korban Banjir Lewat Kegiatan Ceria di Mushalla Nurul Jadid
    Polda Sumbar Terima Bantuan Mobil Pendingin dari Pemprov Sumbar untuk Percepatan Penanganan Korban Bencana
    Ditreskrimsus Polda Sumbar Distribusikan Bantuan Logistik untuk Anggota dan Warga Terdampak Banjir di Pauh
    Polda Sumbar Gencarkan Trauma Healing untuk Korban Banjir Padang, Fokus Pulihkan Kondisi Psikologis Warga
    Anggota DPRD Agam Apresiasi Kepolisian atas Respons Cepat Tangani Bencana di Salareh Aia

    Ikuti Kami