JAKARTA - Langkah tegas diambil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut tuntas dugaan korupsi terkait pembagian kuota haji tambahan. Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah mengeluarkan kebijakan pencegahan ke luar negeri bagi beberapa individu yang dinilai krusial dalam perkara ini. Langkah ini diambil demi memastikan keberadaan mereka tetap di Indonesia guna membantu kelancaran proses penyidikan.
"Dalam perkara kuota haji ini, KPK juga sudah melakukan cegah luar negeri atau cekal kepada pihak-pihak yang memang dibutuhkan keberadaannya untuk tetap di Indonesia sehingga bisa membantu proses penyidikan perkara ini supaya bisa berjalan secara efektif, khususnya terkait dengan diskresi, penentuan atau pembagian kuota haji tambahan di Kementerian Agama, " ungkap Budi kepada wartawan, Rabu (3/12/2025).
Fokus utama penyidikan adalah mengungkap peran para 'otak' atau *mastermind* di balik dugaan penyimpangan kuota haji. KPK mendalami apakah kebijakan pembagian kuota tambahan ini murni berasal dari Kementerian Agama, ataukah ada intervensi dan dorongan dari pihak eksternal, tak terkecuali asosiasi penyelenggara ibadah haji.
"Bahwa yang dilakukan cegah luar negeri selain pihak-pihak di Kementerian Agama, juga dari pihak asosiasi. Mengapa? Karena dalam proses diskresi pembagian kuota haji ini KPK, mendalami apakah ini murni dilakukan oleh Kementerian Agama atau ada inisiatif atau dorongan dari pihak-pihak lainnya termasuk dari pihak asosiasi ataupun PIHK (penyelenggara ibadah haji khusus), " jelas Budi.
Penilaian KPK, pengelolaan kuota haji khusus oleh PIHK ternyata tidak sepenuhnya sejalan dengan regulasi yang berlaku. Proses diskresi yang melibatkan Kementerian Agama maupun pihak luar kini menjadi sorotan intensif para penyidik.
"Nah, oleh karenanya kemudian KPK mendalami apakah proses-proses diskresi yang dilakukan oleh Kementerian Agama ini murni top-down atau bottom-up atau keduanya. Sehingga pihak-pihak yang diduga mengetahui dan dibutuhkan keberadaannya untuk tetap di Indonesia dilakukan cegah ke luar negeri, " tuturnya.
Keterlibatan ganda beberapa pihak, seperti biro perjalanan yang juga merangkap sebagai pengurus asosiasi, semakin memperumit peta investigasi.
"Nah, ini bisa keduanya karena memang beberapa pihak biro travel atau PIHK ini kemudian juga bertindak sebagai pengurus di asosiasi, " sambungnya.
Setidaknya ada sekitar 13 hingga 14 asosiasi haji yang diduga tersangkut dalam isu penambahan kuota haji khusus. KPK masih terus berupaya mengidentifikasi siapa saja yang memegang kendali utama dalam perkara ini.
"Kalau asosiasi yang mengelola terkait dengan kuota haji tambahan ini kan ada 13 atau 14 begitu, ya. Nah, ini kan didalami pra dan pascanya. Pradiskresi artinya pengaitannya dengan apakah ada motif, inisiatif, dan dorongan, " ujar Budi.
Proses pasca-diskresi pun tak luput dari pemeriksaan, terutama terkait bagaimana kuota tambahan tersebut dibagikan. Salah satu pihak swasta yang disebut turut dicekal adalah dari travel MT (Maktour Travel).
"Tapi kalau pendalamannya soal pascadiskresi artinya soal pembagian kuota tambahan khusus tersebut. Nah, yang dilakukan cegah luar negeri salah satunya dari pihak travel MT (Maktour Travel), pihak swastanya itu, " tambahnya.
Kasus ini berakar pada pembagian tambahan 20 ribu kuota haji untuk tahun 2024, yang terjadi saat kepemimpinan Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama. Kuota tambahan ini merupakan hasil lobi Presiden RI saat itu, Joko Widodo, ke Arab Saudi, dengan tujuan utama mengurangi daftar tunggu jemaah haji reguler yang bisa mencapai dua dekade.
Sebelumnya, Indonesia memiliki kuota haji 221 ribu untuk tahun 2024. Penambahan 20 ribu kuota membuat totalnya menjadi 241 ribu. Namun, pembagian kuota tambahan ini menjadi janggal, yakni 10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus, padahal Undang-Undang Haji menetapkan kuota haji khusus maksimal hanya 8 persen dari total kuota nasional.
Akibatnya, alokasi pada tahun 2024 menjadi 213.320 untuk jemaah haji reguler dan 27.680 untuk jemaah haji khusus. Kebijakan yang diambil di era Yaqut ini diduga menyebabkan sekitar 8.400 jemaah haji reguler yang telah menunggu lebih dari 14 tahun harus rela gagal berangkat pada tahun 2024. KPK memperkirakan kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 1 triliun, dan sejumlah aset seperti rumah, mobil, serta uang dolar telah disita sebagai bagian dari penyidikan. (PERS)

Updates.