PENGUSAHA - Di tengah hiruk pikuk industri penerbangan Indonesia, nama Chandra Lie bersinar sebagai sosok di balik layar Sriwijaya Air. Perjalanan hidupnya adalah bukti nyata bahwa mimpi besar bisa terwujud dengan kerja keras dan kegigihan, bahkan dari titik awal yang paling sederhana.
Lahir di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada 4 April 1965, Chandra Lie memiliki mimpi yang tak jauh berbeda dengan anak muda seusianya. Namun, takdir membawanya pada jalur yang berbeda. Setelah menamatkan SMP, ia merantau ke Jakarta, berbekal tekad untuk melanjutkan pendidikan SMA sambil bekerja serabutan demi menyambung hidup. Cita-citanya kala itu sederhana: menjadi guru olahraga atau pengacara. Namun, pintu universitas belum terbuka untuknya setelah gagal dalam seleksi masuk Universitas Indonesia.
Kegagalan ini bukannya memadamkan semangat, justru menjadi cambuk untuk bangkit. Chandra Lie memutuskan menempuh jalan wirausaha. Dengan modal terbatas, ia memulai bisnis konveksi kecil yang hanya bermodalkan tujuh mesin jahit. Siapa sangka, dari garasi sempit itulah, bisnis garmennya berkembang pesat, berkat kerja keras, keuletan, dan kemampuan manajerialnya yang mumpuni, hingga memiliki sekitar 150 mesin.
Titik balik dalam hidupnya terjadi ketika ia merasakan betapa sulit dan lamanya perjalanan pulang ke kampung halaman. Perjalanan laut yang memakan waktu hingga 11 jam, tak jarang terganggu ombak tinggi, memunculkan sebuah ide brilian: mendirikan maskapai penerbangan sendiri. Tujuannya jelas, mempermudah dan mempercepat mobilitas antarwilayah di Indonesia.
Tahun 2000 menjadi saksi bisu langkah besar Chandra Lie. Bersama saudaranya, Hendry Lie, serta dua rekannya, Johanes B dan Andy Halim, ia memulai perjuangan mengurus izin pendirian maskapai. Proses ini tidaklah mudah, memakan waktu tiga tahun hingga akhirnya Sriwijaya Air resmi berdiri pada 28 April 2003. Izin terbang diperoleh pada 28 Oktober di tahun yang sama, dan pada 10 November 2003, Sriwijaya Air mengudara untuk pertama kalinya dengan satu armada Boeing 737-200.
Perkembangan Sriwijaya Air sungguh luar biasa. Dari satu pesawat, kini maskapai ini memiliki puluhan armada dan melayani puluhan rute domestik maupun regional. Tak berhenti di situ, Chandra Lie melebarkan sayap bisnisnya dengan meluncurkan NAM Air sebagai maskapai pengumpan, serta mendirikan NAM Flying School untuk mencetak generasi pilot dan tenaga penerbangan profesional dalam negeri.
Namun, perjalanan Sriwijaya Air tidak selalu mulus. Tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 pada 9 Januari 2021 mengguncang publik. Musibah yang merenggut 50 penumpang dan 12 kru ini menjadi ujian terberat dalam karier Chandra Lie. Di tengah duka yang mendalam, Chandra Lie menunjukkan ketegaran, empati, dan komitmen untuk memastikan seluruh proses investigasi serta peningkatan keselamatan penerbangan berjalan transparan dan menyeluruh.
Kisah Chandra Lie adalah narasi tentang keberanian bermimpi, ketangguhan menghadapi kegagalan, dan dedikasi yang tak kenal lelah. Ia bukan sekadar pendiri maskapai, melainkan inspirator bagi banyak pengusaha muda Indonesia yang ingin mengukir jejak di kancah nasional maupun internasional.
Beberapa fakta menarik tentang Chandra Lie:
Dari 7 mesin jahit menjadi pengusaha maskapai: Perjalanan kariernya dimulai dari bisnis garmen kecil sebelum sukses membangun maskapai penerbangan nasional.
Tidak mudah menyerah: Kegagalan masuk perguruan tinggi justru menjadi titik balik untuk bangkit dan berwirausaha.
Membangun sekolah pilot sendiri: Melalui NAM Flying School, ia berkontribusi mencetak tenaga penerbangan berkualitas di Indonesia.
Pernah meraih penghargaan wirausaha: Atas dedikasi dan inovasinya, Chandra Lie pernah dianugerahi Entrepreneurial Spirit Award dari Ernst & Young. (PERS)

Updates.