PENGUSAHA - Di balik gemerlap bisnis warisan Orde Baru, terselip kisah perebutan aset yang kini menarik perhatian publik. Pontjo Sutowo, seorang pengusaha yang mewarisi imperium bisnis dari ayahnya, Ibnu Sutowo, seorang tokoh penting di era Pertamina, kini tengah menghadapi kenyataan pahit terkait sengketa Hotel Hilton.
Pontjo Sutowo, lahir di Palembang pada 17 Agustus 1950, bukanlah nama asing di kancah bisnis Indonesia. Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan Ibnu Sutowo dan Zaleha binti Sjafe’ie. Kehidupannya sejak kecil tak lepas dari jejak karier sang ayah yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina dan memiliki kedekatan erat dengan Presiden Soeharto.
Mengikuti jejak sang ayah yang berpindah tugas ke Jakarta, Pontjo menempuh pendidikan di Perguruan Cikini. Ambisinya untuk terjun ke dunia bisnis sudah membara sejak usia muda. Di usianya yang baru menginjak 20 tahun, Pontjo berani meminta restu ayahnya untuk merintis usaha di sektor kemaritiman. Minat besarnya pada bidang ini membawanya mendirikan PT Adiguna Shipyard, sebuah galangan kapal yang kelak menjadi tonggak kesuksesan pertamanya.
Perusahaan galangan kapal ini bukan sekadar mimpi di siang bolong. Pontjo berhasil mengubahnya menjadi entitas bisnis yang disegani. Pada tahun 1972, PT Adiguna Shipyard mampu memproduksi 500 kapal tanker dengan bobot 3.5000 DWT. Tak berhenti di situ, ia juga menjadi pionir yang membawa teknologi fiberglass ke Indonesia melalui perusahaannya.
Tak hanya piawai di sektor perkapalan, Pontjo juga aktif dalam organisasi pengusaha muda. Bersama Abdul Latief, ia turut mendirikan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Pengalaman organisasinya terbilang gemilang, ia pernah menjabat sebagai Ketua Sektor Keuangan dan Perbankan, Ketua II, hingga puncak kariernya sebagai Ketua HIPMI periode 1979-1983.
Seolah tak cukup dengan kesuksesan di perkapalan, Pontjo kemudian merambah PT Nugra Santana, konglomerasi bisnis sang ayah yang didirikan pada tahun 1973. Perusahaan ini memiliki diversifikasi bisnis yang luas, mencakup sektor keuangan, farmasi, pelayaran, energi, hingga perhotelan. Namun, sorotan tajam justru tertuju pada Hotel Hilton, sebuah aset mewah yang dikelola keluarganya.
Hotel Hilton, yang kini dikenal sebagai Hotel Sultan, memiliki sejarah panjang yang berawal dari pembebasan lahan oleh Presiden Soekarno untuk Asian Games IV 1962. Kemudian, pada tahun 1971, mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, mengajukan kerja sama dengan Pertamina untuk membangun hotel mewah. Ibnu Sutowo, yang saat itu memimpin Pertamina, menyetujui permintaan tersebut dan menunjuk PT Indobuild Co untuk membangun hotel di kawasan strategis Senayan.
Namun, di sinilah letak pangkal persoalan. Ali Sadikin mengira PT Indobuild Co adalah anak perusahaan Pertamina, padahal perusahaan tersebut adalah milik keluarga Ibnu Sutowo. Celah ini membuka jalan bagi PT Indobuild Co untuk memegang Hak Pengelolaan (HPL) milik negara selama 30 tahun, menjadikan pembangunan, kepemilikan, dan pengelolaan hotel beralih ke tangan swasta.
Status kepemilikan hotel ini sempat aman selama puluhan tahun berkat kedekatan Ibnu Sutowo dengan Presiden Soeharto. Namun, ketika PT Indobuild Co mengajukan permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), masalah mulai mengemuka. Setelah melalui proses hukum yang panjang dan berliku, Mahkamah Agung pada tahun 2023 akhirnya mengeluarkan putusan tegas. Aset Hotel Hilton dinyatakan sebagai milik negara dan harus dikembalikan kepada PPKGBK.
Keputusan Mahkamah Agung ini menjadi penutup babak sengketa yang telah berlangsung lama, menegaskan bahwa aset negara tetaplah negara, terlepas dari siapa yang pernah mengelolanya. (PERS)

Updates.